Polri sedang diuji, berani berubah atau terjebak dalam krisis kepercayaan.
Oleh: Zulkifli Malik
Transformasi Reformasi kepolisian adalah kebutuhan mendesak. Bukan hanya berkutat pada tuntutan publik, melainkan syarat mutlak jika Polri ingin mendapatkan kembali kepercayaan rakyat.
Pertanyaannya, apakah Polri berani bercermin pada pengalaman negara lain yang berhasil menata diri?
Mari kita tengok Georgia. Setelah Revolusi Mawar 2003, negara kecil di Eropa Timur ini berani memecat hampir seluruh polisi lalu lintas yang korup.
Tidak ada kompromi, tidak ada toleransi. Hasilnya, wajah kepolisian berubah drastis dan kepercayaan publik kembali. Pelajaran bagi Polri jelas: jika ingin bersih, jangan ragu menyingkirkan oknum yang merusak institusi, meskipun jumlahnya besar.
Singapura memberi teladan lain. Kepolisian di sana digaji tinggi, dilengkapi fasilitas layak, dan diawasi ketat.
Tidak heran, korupsi hampir tidak punya ruang tumbuh. Bagi Polri, kesejahteraan anggota bukan sekadar angka di slip gaji, melainkan pondasi moral.
Polisi yang sejahtera, dengan pengawasan yang transparan, akan lebih tegak berdiri menjaga hukum.
Hong Kong pun punya cerita menarik. Krisis korupsi parah di tubuh polisi pada 1970-an ditangani dengan membentuk ICAC, lembaga independen yang benar-benar berdiri di luar kepolisian.
Pesannya sederhana, pengawasan internal saja tidak cukup. Polri perlu membuka diri pada kontrol eksternal yang independen, agar tidak terjebak pada lingkaran kolusi.
Estonia, negara mungil di Eropa Utara, memilih jalur digitalisasi. Hampir seluruh pelayanan publik berbasis teknologi, sehingga interaksi langsung yang sering jadi celah pungli berkurang drastis.
Polri sebenarnya sudah mulai ke arah ini lewat tilang elektronik. Namun, digitalisasi harus diperluas hingga pengaduan publik yang bisa dipantau secara terbuka, agar transparansi benar-benar hidup.
Namun, reformasi tidak cukup hanya soal korupsi dan pelayanan publik. Ada satu hal yang tak kalah penting, yakni cara polisi menghadapi unjuk rasa. Di negara-negara demokratis, polisi diposisikan sebagai fasilitator, bukan musuh rakyat.
Prinsip legalitas, akuntabilitas, dan proporsionalitas dalam penggunaan kekuatan harus menjadi pegangan. Jika aspirasi publik dijawab dengan kekerasan, maka Polri gagal menjalankan fungsinya sebagai pengayom.
Dan tentu saja, semua itu bermula dari hulu: rekrutmen. Jika pintu masuk menjadi polisi sudah dikotori “jual beli kursi” dan permainan nilai, sulit berharap lahir aparat bermental pelayan rakyat.
Rekrutmen yang bersih, transparan, dan berbasis meritokrasi adalah kunci agar mentalitas personel tetap terjaga dari awal bertugas hingga pensiun.
Reformasi Polri tidak bisa hanya berhenti pada slogan. Ada Empat pilar ketegasan, kesejahteraan, pengawasan independen, dan digitalisasi, harus dijalankan konsisten, ditambah pembenahan rekrutmen serta penghormatan HAM dalam setiap langkah.
Jika Polri berani melangkah ke arah itu, kepercayaan publik bukan sekadar mimpi. Jika tidak, reformasi hanya akan tinggal wacana yang makin menjauhkan polisi dari rakyat yang seharusnya mereka lindungi.
Penulis Adalah Jurnalis Pinggiran