Indikasi bisnis gelap BBM Solar Subsidi dari SPBU nakal ke kapal milik HDH menyeruak dan menjadi fokus sorotan sejumlah media di Sulsel.
Oleh: Zulkifli Malik
Kasus dugaan penggelapan solar subsidi di Sulawesi Selatan (Sulsel), khususnya di Kota Makassar kembali menjadi celoteh atau sorotan sejumlah media lokal dengan terungkapnya dugaan keterlibatan dua kapal SPOB pengangkut BBM jenis Self Propelled Oil Barge (SPOB), masing-masing SPOB SN dan SPOB RS milik HDH yang secara ilegal mendistribusikan bahan bakar subsidi milik masyarakat Sulsel ke Kalimantan Selatan.
Sejumlah media menyorot, praktik ini selain membahas persoalan teknis distribusi energi, di sisi lain mencerminkan lemahnya pengawasan dan pengendalian BBM subsidi yang harusnya diperuntukkan bagi rakyat kecil.
Distribusi ilegal yang berjalan sistematis ini menunjukkan indikasi adanya jaringan yang terorganisir dan melibatkan berbagai pihak, termasuk anggota aparat penegak hukum atau APH.
Fakta bahwa bahan bakar diperoleh dari penimbun dan pengoplos yang dikumpulkan hasil pembelian di SPBU nakal yang ada di Kota Makassar dan sekitarnya lalu ditampung HDH dan disiplin ke kapal milik pengusaha yang menunggu di Pulau Samalona, menjadi penggelapan bisnis terstruktur yang merugikan negara secara signifikan.
Pengisian solar subsidi di Pelabuhan Galangan Makassar oleh kapal milik HDH dan selanjutnya dialirkan ke kapal berkapasitas besar milik pengusaha batu bara dari Kalsel memperlihatkan modus operandi yang rapi dan sulit dipantau.
Kapal besar yang menunggu hingga ribuan kiloliter solar menandakan besarnya volume solar subsidi yang dialihkan untuk kepentingan industri bukan rakyat.
Aktivitas ini tidak hanya merugikan fiskal negara karena solar subsidi adalah bantuan yang didanai oleh pajak rakyat, tetapi juga mengorbankan konsumen utama yakni masyarakat Sulsel yang berhak mendapatkan energi dengan harga terjangkau.
Tentunya, pengalihan solar ke sektor industri batu bara di luar provinsi menimbulkan ketimpangan distribusi dan ketidakadilan sosial.
Ditambah ulasan media tentang pengakuan oknum aparat mengklaim memiliki kontrak kapal dan menjadikan HDH sebagai mitra lembaga tempat ia bekerja, menunjukkan praktik kolusi dan nepotisme dalam jaringan mafia BBM ini.
Lebih parah lagi, dengan keterlibatan sejumlah aparat ikut menyeret pejabat tinggi kepolisian dan mengindikasikan adanya perlindungan berlapis yang memperkuat eksistensi mafia ini.
Keterlibatan aparat negara dalam kasus ini menciptakan distorsi dalam penegakan hukum dan memperlambat fungsi negara dalam mengawasi distribusi BBM bersubsidi.
Hal ini justru meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi keamanan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas kejahatan semacam ini.
Media lokal di Sulsel juga memuat kritik keras dari Ketua Umum Perjosi, Salim Jati Mamma, terhadap lemahnya pengawasan negara adalah cermin kegagalan pemerintah dan aparat penegak hukum dalam melindungi hak-hak masyarakat.
Penindakan tegas dan transparan harus segera dilakukan agar mafia BBM tidak terus merajalela dan merugikan negara serta masyarakat kecil.
Lebih jauh, kasus ini menuntut adanya reformasi komprehensif mulai dari kontrol distribusi BBM di tingkat SPBU hingga sistem monitoring dan integrasi data yang bisa mendeteksi penyimpangan secara real time.
Teknologi dan sistem transparansi harus menjadi prioritas agar BBM subsidi benar-benar dinikmati oleh yang berhak.
Terakhir, pembongkaran jaringan mafia dengan pelindung aparat harus menjadi fokus utama untuk menjamin keadilan dan penegakan hukum yang efektif.
Ketidakadilan dalam distribusi BBM bukan hanya pencurian bahan bakar, tetapi juga pencurian hak dan kesejahteraan masyarakat yang selama ini mengandalkan subsidi sebagai bagian dari kebutuhan hidup sehari-hari.
Haruskan kejahatan ini hanya menjadi tontonan menarik APH? Ataukan ada keterlibatan maupun konspirasi gelap dalam memperoleh “cuan” dengan nilai yang besar? (Bersambung)