Proses pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Indonesia melibatkan beberapa tahapan, termasuk pemeriksaan kesehatan jasmani dan rohani (psikologi), termasuk seluruh Satpas SIM di wilayah Polda Sulsel.
Sesuai dengan surat telegram Kapolri Nomor ST/2387/X/YAN.1.1./2022 tanggal 31 Oktober 2022, pemeriksaan tersebut dilakukan di luar area Gedung Satuan Penyelenggara Administrasi SIM (Satpas), dan pemohon dapat memilih sendiri dokter atau psikolog yang telah mendapat rekomendasi sesuai ketentuan.
Namun, dalam praktiknya, ditemukan bahwa banyak pemohon SIM hanya diarahkan ke satu penyedia layanan yang telah ditunjuk secara tidak resmi oleh pihak terkait.
Meskipun aturan menyebutkan bahwa pemohon bebas memilih penyedia layanan kesehatan, kenyataannya, di banyak daerah, termasuk di wilayah Sulawesi Selatan, hanya ada satu lembaga yang disiapkan untuk melakukan pemeriksaan.
Hal ini menimbulkan dugaan adanya praktik monopoli dalam penyediaan layanan tes kesehatan dan psikologi bagi pemohon SIM.
Pemohon tidak diberikan pilihan lain, sehingga mereka tidak dapat membandingkan harga atau kualitas layanan yang lebih baik.
Akibat dari kondisi ini, biaya yang dikenakan kepada pemohon sering kali tidak memiliki standar yang jelas.
Tidak ada transparansi mengenai tarif resmi yang seharusnya diberlakukan, sehingga menimbulkan dugaan bahwa biaya tersebut dapat bervariasi tergantung pada lokasi dan kebijakan tidak tertulis dari pihak tertentu.
Dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa biaya yang dikenakan lebih tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan kesehatan umum yang dilakukan di fasilitas kesehatan lainnya.
Keberadaan penyedia layanan yang seolah-olah telah ditunjuk oleh pihak kepolisian juga menimbulkan pertanyaan mengenai aliran dana yang terjadi dalam proses ini.
Dana yang dibayarkan oleh pemohon langsung ke penyedia layanan kesehatan tersebut tidak termasuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga sulit diaudit dan dipertanggungjawabkan secara transparan.
Hal ini membuka peluang terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan dana tersebut.
Dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa lokasi tempat pemeriksaan kesehatan dan psikologi ini berada di sekitar atau bahkan dalam kompleks Satpas SIM.
Padahal, secara aturan, layanan ini tidak boleh berada di dalam area Gedung Satpas.
Keberadaan fasilitas ini di lokasi strategis yang dekat dengan Satpas semakin memperkuat dugaan bahwa ada hubungan tertentu antara pihak penyelenggara tes dengan pihak kepolisian yang bertanggung jawab atas penerbitan SIM.
Sistem pembayaran yang dilakukan secara langsung oleh pemohon kepada penyedia layanan kesehatan juga membuat mekanisme pengawasan menjadi lemah.
Tidak adanya standar biaya resmi yang ditetapkan oleh pemerintah membuat pemohon tidak memiliki kepastian mengenai berapa besar dana yang harus mereka keluarkan.
Selain itu, tidak ada mekanisme pengaduan yang jelas apabila pemohon merasa dikenakan tarif yang tidak wajar atau mendapatkan layanan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Dugaan adanya praktik monopoli dalam penyediaan layanan tes kesehatan ini juga dapat berimplikasi pada kualitas layanan yang diterima oleh pemohon SIM.
Karena pemohon tidak memiliki alternatif lain, penyedia layanan yang ditunjuk tidak memiliki insentif untuk meningkatkan kualitas layanan mereka.
Akibatnya, proses pemeriksaan kesehatan dan psikologi bisa menjadi sekadar formalitas tanpa memastikan bahwa pemohon benar-benar memenuhi syarat kesehatan yang dibutuhkan untuk mengemudi.
Selain itu, dalam beberapa kasus, ada laporan mengenai kemungkinan bahwa hasil tes kesehatan dan psikologi dapat dikeluarkan tanpa pemeriksaan yang ketat.
Hal ini menunjukkan bahwa ada potensi celah korupsi yang bisa terjadi di dalam sistem ini, di mana pemohon SIM hanya perlu membayar biaya tertentu untuk mendapatkan surat keterangan kesehatan tanpa melalui pemeriksaan yang memadai.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan regulasi yang lebih ketat dan transparan dalam penunjukan penyedia layanan tes kesehatan bagi pemohon SIM.
Pemerintah harus memastikan bahwa pemohon memiliki kebebasan untuk memilih penyedia layanan sesuai dengan preferensi mereka, serta menetapkan standar biaya yang jelas dan transparan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Selain itu, mekanisme pembayaran juga harus diawasi dengan lebih ketat agar dana yang dibayarkan oleh pemohon tidak disalahgunakan.
Dengan adanya transparansi dalam sistem ini, diharapkan potensi penyimpangan dalam proses penerbitan SIM dapat diminimalkan, sehingga masyarakat mendapatkan layanan yang lebih adil dan berkualitas. (Bersambung)