Tayang– Pekan lalu, publik di Kalimantan Barat dikejutkan oleh pernyataan Ketua Litbang YLBH-LMRRI, Bambang Iswanto, terkait adanya tambang bauksit ilegal di Tayan, Kabupaten Sanggau, yang tidak mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Di tengah gencarnya pemerintah pusat memberantas tambang ilegal, kabar ini bukan saja mengkhawatirkan, tetapi juga membuka tabir soal dugaan kekuatan besar di balik mulusnya aktivitas tambang yang seharusnya tak bisa beroperasi.
Spekulasi mulai mencuat mengenai siapa sosok kuat di balik aktivitas tambang ilegal tersebut.
Tidak sedikit pihak yang menduga ada bekingan kuat yang melindungi operasi penambangan bauksit di wilayah itu. Salah satu suara keras datang dari Yayat Darmawi, S.E., S.H., M.H., Koordinator Lembaga TINDAK Indonesia sekaligus pemerhati lingkungan hidup.
Ia menyebutkan bahwa ada indikasi kuat keterlibatan mafia tambang, elite pemerintahan, dan bahkan aparat dalam menopang eksistensi tambang ilegal ini.
Yayat mengungkapkan bahwa di Desa Lalang hingga Dusun Selatai, aktivitas tambang bauksit milik seseorang bernama Oki disebut-sebut mendapat perlindungan dari seorang warga berinisial A alias Bun-bun.
Modus yang digunakan adalah dengan mengatasnamakan masyarakat setempat demi memuluskan kepentingan pribadi serta membuka jalan agar perusahaan tambang ilegal itu diterima oleh warga.
Menurut Yayat, A alias Bun-bun juga dikenal kebal hukum dan disebut-sebut memiliki kedekatan khusus dengan petinggi aparat penegak hukum (APH) di Kalbar.
Nama ini disebut-sebut sebagai perantara yang mampu menjinakkan gejolak sosial dan menghadang intervensi hukum, hanya dengan menjanjikan bahwa razia dari pusat tidak akan berlangsung lama dan setelah itu tambang akan kembali beroperasi seperti biasa.
Dari hasil investigasi Tim Anti Mafia Tambang, pola yang digunakan tampak seragam, eksploitasi atas nama masyarakat, dengan tujuan menghindari resistensi warga sekaligus membuka celah hukum agar aktivitas tambang tetap berjalan lancar.
Skema seperti ini bukan hal baru, tetapi selalu efektif karena menyandarkan diri pada jaringan yang tertata rapi dan sulit disentuh hukum.
Yayat menyebut bahwa kekuatan besar di balik tambang ilegal ini yang melibatkan pejabat dan aparat menjadi alasan utama mengapa upaya pemberantasan tambang ilegal selalu gagal.
Perlindungan semacam ini membuat praktik illegal mining tumbuh subur tanpa hambatan hukum, dan kekayaan negara yang seharusnya dikuasai untuk kemakmuran rakyat justru dinikmati oleh para mafia tambang.
Situasi ini diperparah oleh pernyataan aparat lokal kepada masyarakat bahwa razia dari pusat hanya akan berlangsung sebentar.
Pernyataan semacam itu bukan hanya bentuk arogansi terhadap hukum, tetapi juga menandakan bahwa aparat tidak lagi bertindak sebagai pengayom, melainkan bagian dari sistem pelindung ilegalitas yang sistematis.
Karena itu, Yayat menegaskan bahwa aturan mengenai tambang ilegal harus segera diperbaiki. Tak cukup hanya memperketat regulasi, tetapi juga memperkuat penegakan hukum yang adil dan menyeluruh.
Menurutnya, bila pelaku terbukti melakukan pelanggaran tambang ilegal, maka harus ada tindakan tegas dan efek jera yang nyata agar praktik ini tidak terus menjalar.
Kekhawatiran Yayat cukup beralasan. Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya juga telah mengakui bahwa jumlah tambang ilegal di Indonesia mencapai ribuan titik dan sangat merugikan negara.
Tidak hanya merusak lingkungan, tambang ilegal ini juga tidak memberikan kontribusi bagi penerimaan negara baik dalam bentuk pajak, royalti, maupun PNBP lainnya.
Sebagai gambaran, berdasarkan data MODI Kementerian ESDM, Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor pertambangan mineral dan batu bara tercatat mencapai Rp75,48 triliun.
Angka ini akan jauh lebih besar bila tambang ilegal bisa diubah menjadi aktivitas legal yang terdaftar dan taat aturan.
Karena itu, Yayat mendesak aparat penegak hukum untuk segera bertindak dan tidak tebang pilih, termasuk jika yang membackingi tambang ilegal adalah oknum yang dekat dengan elite aparat di Kalimantan Barat.
Negara tidak boleh kalah oleh mafia tambang. Jika hukum tunduk kepada kekuasaan informal dan uang, maka illegal mining akan terus jadi penyakit akut yang merusak masa depan lingkungan dan merampas hak rakyat atas sumber daya alam. (*)