Oleh: Zulkifli M
Meski berbagai pihak, termasuk Wakil Ketua Komisi III DPR-RI, Moh Tano Alfath memberikan apresiasi terhadap kesuksesan kepolisian mengungkap 3.326 kasus premanisme di wilayah Indonesia periode 1 hingga 9 Mei 2025, publik berharap tak hanya premanisme kelas teri yang ditindak, tetapi juga pada aksi premanisme kakap yang meresahkan dan melebarkan sayap di wilayah Indonesia.
Dari kesuksesan tersebut, menguak pertanyaan kritis yang muncul adalah apakah premanisme hanya berhenti pada sosok-sosok bertubuh kekar, bersarung di pinggang, dan nongkrong di pinggir jalan?
Dalam praktiknya, wajah premanisme di Indonesia telah mengalami mutasi. Ia tidak lagi sekadar berwujud penguasa parkir liar atau tukang palak di persimpangan.
Premanisme kini tampil lebih rapi, lebih terorganisasi, dan sering kali berlindung di balik atribut organisasi kemasyarakatan (ormas), atau bahkan memiliki afiliasi dengan kekuatan ekonomi dan politik tertentu.
Sayangnya, penindakan terhadap premanisme masih bersifat vertikal dan selektif. Kepolisian sering kali lebih cepat dan garang ketika menghadapi preman kelas teri, namun terlihat gamang ketika berhadapan dengan premanisme berjubah ormas.
Padahal, tidak sedikit kelompok berkedok ormas yang terang-terangan melakukan pemerasan, intimidasi, hingga kekerasan atas nama kegiatan sosial atau pengamanan wilayah.
Lebih mengkhawatirkan lagi, munculnya fenomena premanisme dalam bentuk jasa penagihan utang (debt collector) yang sering bertindak semena-mena.
Banyak masyarakat menjadi korban perampasan kendaraan di tengah jalan, bahkan di depan rumah sendiri.
Dengan dalih penarikan kredit macet, mereka menghentikan, merampas, dan mengancam warga tanpa dasar hukum yang kuat.
Tragisnya, sebagian besar tindakan itu dibiarkan, seolah menjadi praktik yang “normal”.
Kepolisian seharusnya tidak bersikap ambigu dalam persoalan ini. Negara harus tegas terhadap segala bentuk kekerasan dan pemaksaan di luar kewenangan hukum, tak peduli siapa pelakunya.
Bila hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka kepercayaan publik kepada institusi kepolisian akan terus tergerus.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada hubungan saling menguntungkan antara oknum aparat dan kelompok preman-berbendera.
Relasi ini menciptakan simbiosis koruptif, di mana premanisme tetap hidup karena mendapat perlindungan, sementara aparat memperoleh ‘keamanan’ atau bahkan keuntungan pribadi.
Jika ini tak diberantas, pemberantasan premanisme tak lebih dari pertunjukan semu.
Lebih dari sekadar razia, pemberantasan premanisme memerlukan keberanian moral dan politik dari institusi kepolisian.
Berani menindak tidak hanya para pelaku jalanan, tetapi juga membongkar jaringan yang lebih besar, preman dalam jas, preman dengan stempel organisasi, dan preman dalam sistem birokrasi.
Reformasi kepolisian pun menjadi aspek penting. Tanpa integritas dan transparansi dalam tubuh kepolisian itu sendiri, upaya memberantas premanisme akan berakhir sebagai slogan belaka.
Ingat, premanisme bukan hanya soal kekerasan fisik, tapi juga soal penyalahgunaan kuasa, baik oleh warga sipil maupun oleh aparat negara.
Sudah saatnya kepolisian menata ulang strategi pemberantasan premanisme dengan pendekatan struktural. Bukan hanya sweeping di pasar atau jalanan, tapi juga menyelidiki aliran dana, memetakan aktor intelektual di balik premanisme terselubung, dan membongkar kolusi yang membiarkan kekerasan terjadi secara sistemik.
Dalam negara hukum, tidak boleh ada kekuasaan di luar hukum. Baik itu individu, kelompok ormas, maupun perusahaan pembiayaan, semuanya harus tunduk pada prinsip keadilan dan aturan.
Kepolisian harus menjadi pelindung rakyat, bukan menjadi institusi yang menutup mata terhadap kekuasaan jalanan yang menyamar dalam berbagai rupa.
Jika kepolisian gagal membersihkan wajahnya dari toleransi terhadap premanisme elite, maka penangkapan preman jalanan tidak akan menyelesaikan apa pun.
Yang kita butuhkan hari ini adalah keberanian moral, bukan hanya menindak yang lemah, tapi juga menantang mereka yang kuat namun melanggar hukum. (*)