Proses pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Indonesia seharusnya berlangsung secara transparan dan akuntabel.
Oleh: Zulkifli Malik
Namun, di Sulawesi Selatan, terdapat indikasi kuat bahwa pungutan biaya tes kesehatan dan psikologi bagi pemohon SIM tidak memiliki transparansi yang memadai.
Nah, Masalah utama yang mencuat adalah tidak adanya kuitansi resmi bagi pemohon, serta ketidakjelasan aliran dana yang diduga tidak memiliki dasar aturan resmi.
Selain itu, terdapat pertanyaan besar mengenai transparansi kerja sama antara Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Sulsel dengan berbagai lembaga penyedia layanan kesehatan dan psikologi yang ditunjuk.
Salah satu keluhan utama yang muncul dari masyarakat adalah pembayaran biaya tes kesehatan dan psikologi yang tidak disertai dengan kuitansi resmi, seperti ketika kita mengurus surat kendaraan yang diatur dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dalam sistem administrasi yang ideal, setiap transaksi yang dilakukan dalam layanan publik harus memiliki bukti pembayaran sebagai bentuk pertanggungjawaban dan transparansi penggunaan dana.
Ketiadaan kuitansi ini menimbulkan dugaan bahwa pungutan tersebut tidak masuk dalam sistem resmi, melainkan berpotensi menjadi sumber pendapatan yang beraroma ilegal yang tidak tercatat dalam laporan keuangan negara.
Ketika pemohon SIM diwajibkan membayar biaya tanpa adanya transparansi mengenai alokasi dana, hal ini menimbulkan ketidakpercayaan publik di Sulsel terhadap sistem pelayanan kepolisian.
Apalagi, dalam beberapa kasus, tarif yang dikenakan berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lainnya, mengindikasikan adanya ketidakkonsistenan dalam regulasi dan praktik di lapangan.
Dalam regulasi resmi, setiap pungutan yang dilakukan oleh instansi pemerintahan atau pihak ketiga yang ditunjuk dalam pelayanan publik harus memiliki aturan yang jelas, baik dari segi tarif maupun penggunaannya.
Namun, di Sulawesi Selatan, belum ada kejelasan mengenai bagaimana aliran dana hasil pungutan tes kesehatan dan psikologi ini dikelola.
Jika pungutan ini memang legal dan sesuai aturan, seharusnya ada mekanisme pelaporan yang jelas mengenai bagaimana dana tersebut digunakan.
Apakah masuk ke dalam kas negara sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)? Apakah digunakan untuk operasional layanan kesehatan dan psikologi yang bekerja sama dengan kepolisian? Atau justru ada pihak tertentu yang mendapatkan keuntungan tanpa pertanggungjawaban yang jelas?
Ketidakjelasan ini membuka ruang bagi potensi penyimpangan yang dapat merugikan masyarakat dan merusak kredibilitas institusi yang terlibat.
Hal lain yang patut menjadi sorotan adalah bagaimana mekanisme penunjukan lembaga kesehatan dan psikologi yang bekerja sama dalam penyelenggaraan tes bagi pemohon SIM.
Sejauh ini, tidak ada informasi yang terbuka mengenai proses seleksi atau kriteria yang digunakan dalam penunjukan lembaga-lembaga ini.
Dalam praktik administrasi yang baik, seharusnya ada transparansi mengenai mekanisme kerja sama ini, termasuk syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh lembaga penyedia layanan, apakah mereka telah melalui proses lelang atau seleksi yang adil, serta apakah ada pengawasan independen terhadap layanan yang diberikan.
Jika tidak ada mekanisme pengawasan yang memadai, maka ada potensi bahwa kerja sama ini hanya menguntungkan pihak tertentu tanpa benar-benar memberikan layanan yang berkualitas bagi masyarakat.
Untuk biaya tes kesehatan dan psikologi bagi pemohon SIM di Sulawesi Selatan harus segera ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.
Penulis sedikit mengingatkan pada institusi terkait, bahwa ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk memperbaiki situasi ini:
A. Mewajibkan penerbitan kuitansi resmi untuk setiap pembayaran yang dilakukan oleh pemohon SIM, guna memastikan bahwa dana tersebut tercatat dalam sistem yang transparan.
B. Membuka laporan keuangan terkait pungutan ini, termasuk bagaimana dana tersebut dialokasikan dan digunakan.
C. Melakukan audit independen terhadap kerja sama antara Ditlantas Polda Sulsel dengan penyedia layanan kesehatan dan psikologi untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan atau praktik korupsi.
D. Meningkatkan pengawasan dari masyarakat dan lembaga pengawas terhadap layanan publik yang berkaitan dengan pengurusan SIM, agar tidak terjadi penyimpangan yang merugikan masyarakat.
Dengan adanya langkah-langkah ini, diharapkan pengurusan SIM dapat lebih transparan dan akuntabel, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang bertanggung jawab dalam pelayanan publik. (Bersambung)