Dinamika pelayanan di Samsat Makassar, dan di Sulawesi Selatan pada umumnya, kini tengah berada dalam pusaran kebingungan sistemik.
Oleh: Mansyur Asiz
Alih-alih menjadi lokomotif pelayanan publik berbasis digital, Samsat justru terjebak dalam perang senyap antara sistem PDE (Pendapatan Daerah Elektronik) dan ERI (Electronic Registration and Identification) yang masing-masing diklaim lebih efisien.
Akibatnya, masyarakat sebagai wajib pajak justru menjadi korban kebijakan yang saling tumpang tindih, lambat, dan penuh ketidakpastian.
Sistem yang semestinya mempercepat pelayanan justru berubah menjadi penghambat. Proses administrasi yang rumit, tumpang tindih kewenangan antar lembaga, serta buruknya koordinasi antara Bapenda, Ditlantas Polri, dan Jasa Raharja menimbulkan paradoks dalam tubuh Samsat.
Layanan yang seharusnya “satu atap” kini terasa seperti rumah dengan banyak pintu yang saling terkunci. Ketidakterpaduan inilah yang kemudian menciptakan persepsi negatif publik dan memunculkan dugaan adanya ruang abu-abu dalam pelayanan yang membuka celah praktik tak terpuji.
Di sisi lain, berbagai program potongan dan insentif pajak yang digagas Pemerintah Provinsi Sulsel seolah tidak mampu menambal kerusakan sistemik yang ada.
Bukannya menarik minat masyarakat untuk taat pajak, kebijakan tersebut malah tersandera oleh lemahnya integrasi data dan ego sektoral antar instansi.
Celah ini memperlihatkan bahwa persoalan utama Samsat bukan semata-mata pada sistem teknis, melainkan pada ketidakselarasan visi dan kepemimpinan kolaboratif di antara unsur pelaksananya.
Jaringan Oposisi Indonesia (JOIN) Sulsel menilai kondisi ini sebagai bentuk “ketidaktertiban birokrasi publik”1 yang harus segera diperbaiki.
JOIN tidak menuding, tetapi mengingatkan bahwa pembiaran terhadap kekacauan layanan publik akan berimbas pada merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara, termasuk institusi kepolisian yang sedang giat mendorong reformasi pelayanan berbasis transparansi dan akuntabilitas.
Kritik ini adalah bentuk kepedulian agar reformasi pelayanan publik tidak mandek hanya karena miskomunikasi antarlembaga.
Akhirnya, sudah saatnya Bapenda Sulsel, Ditlantas Polda Sulsel, dan Jasa Raharja duduk bersama secara terbuka dengan melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan media. Dialog yang jujur dan konstruktif menjadi langkah awal mengurai simpul persoalan ini.
Sebab publik tidak butuh saling menyalahkan antarinstansi yang dibutuhkan adalah pelayanan cepat, jelas, dan berintegritas. Samsat harus kembali ke khitahnya: hadir sebagai rumah pelayanan publik yang manunggal, bukan medan perang antar sistem.
Penulis Adalah Direktur Jaringan Oposisi Indonesia (JOIN) Sulsel