Close Menu
Indotim NewsIndotim News
  • Berita
  • DAERAH
  • HUKRIM
  • EKOBIS
  • BIDIK LENZA
  • NASIONAL
  • PENDIDIKAN
  • ADVERTORIAL
  • SOSBUD
Facebook X (Twitter) Instagram
Facebook X (Twitter) Instagram
Kamis, Oktober 23
Indotim NewsIndotim News
Facebook X (Twitter) Instagram
  • Berita
  • DAERAH
  • HUKRIM
  • EKOBIS
  • BIDIK LENZA
  • NASIONAL
  • PENDIDIKAN
  • ADVERTORIAL
  • SOSBUD
Indotim NewsIndotim News
  • Berita
  • DAERAH
  • HUKRIM
  • EKOBIS
  • BIDIK LENZA
  • NASIONAL
  • PENDIDIKAN
  • ADVERTORIAL
  • SOSBUD
Home»HUKRIM»Analisis: Penegakan Hukum Pelaku Penyalahgunaan Solar Subsidi di Sulsel Sebatas Retorika? (Bag.74)
HUKRIM

Analisis: Penegakan Hukum Pelaku Penyalahgunaan Solar Subsidi di Sulsel Sebatas Retorika? (Bag.74)

Indotim NewsBy Indotim NewsOktober 20, 2025Updated:Oktober 20, 2025Tidak ada komentar7 Mins Read
Facebook Twitter Email WhatsApp Telegram
Share
Facebook Twitter Email WhatsApp

Mafia Solar di Sulsel, tak Pernah Berhenti Jadi Bayang-Bayang Gelap di Balik Subsidi Negara. Oknum aparatpun disebut sebut ikut menikmati uang “haram’ tersebut.

Oleh: Zulkifli Malik 

Di atas kertas, penegakan hukum terhadap penyalahgunaan BBM bersubsidi di Sulawesi Selatan tampak berjalan tegas. Setiap bulan, aparat penegak hukum (APH) merilis kasus penimbunan atau penyelundupan solar subsidi dengan berbagai modus dari jeriken, gudang ilegal, hingga truk atau mobil pribadi dengan  tangki modifikasi.

Namun realitas di balik konferensi pers itu jauh lebih rumit. Sebab dari sekian banyak penangkapan, hanya segelintir yang berujung di meja hijau.

Publik mulai bertanya-tanya, mengapa hukum seperti berhenti di tengah jalan, seolah hanya menindak “kuli lapangan”, bukan otak besar di balik bisnis haram bernilai miliaran rupiah ini.

Wah, sulitnya aparat penegak hukum memberangus penyalahgunaan BBM solar subsidi bukan semata karena lemahnya aturan, melainkan karena kompleksitas sistem distribusi dan jaringan ekonomi yang mengitarinya.

Di lapangan, pengawasan distribusi BBM masih bergantung pada kontrol manual dan fisik, sementara banyak wilayah terpencil, pelabuhan kecil, serta jalur darat di Sulawesi Selatan sulit dijangkau secara rutin.

Kondisi ini membuka celah bagi praktik penimbunan dan penyedotan solar subsidi untuk dijual ke sektor industri atau perikanan non-subsidi.

Pengamat energi dan Ombudsman RI juga menyoroti bahwa data penerima subsidi yang belum terintegrasi secara digital membuat aparat kesulitan membedakan antara konsumen sah dan pelaku penyimpangan.

Kementerian ESDM sendiri mengakui bahwa realisasi penggunaan solar subsidi setiap tahun selalu membengkak jauh dari kuota, yang menjadi indikator kuat bahwa kebocoran masih masif dan belum terkendali.

Di sisi lain, upaya hukum sering tersendat karena pelaku yang terlibat bukan individu tunggal, melainkan jaringan terorganisir yang melibatkan oknum pelaku usaha, sopir angkutan, bahkan sebagian kecil aparat di lapangan.

Dalam banyak kasus, penyidikan menemui kendala pembuktian unsur pidana, minimnya kapasitas forensik ekonomi, serta lemahnya koordinasi antara Polri, BPH Migas, dan Kejaksaan.

Peneliti hukum menilai bahwa risiko hukum yang rendah dibandingkan keuntungan besar dari penjualan solar bersubsidi ke pasar non-subsidi membuat kejahatan ini tetap menarik.

Di tengah situasi ini, aparat memang terus melakukan penindakan, namun tanpa reformasi menyeluruh, terutama pada sistem data tunggal penerima subsidi, peningkatan kapasitas penyidik, serta perlindungan pelapor pemberantasan penyalahgunaan BBM bersubsidi di Sulsel akan terus berjalan di tempat.

Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Kota Makassar sendiri adalah daerah dengan konsumsi BBM subsidi yang tinggi, terutama untuk sektor transportasi darat, pertanian, dan perikanan.

Namun tingginya kebutuhan ini juga menjadikan wilayah ini lahan subur bagi permainan harga dan distribusi ilegal.

Fakta terbaru menunjukkan, pada Juli 2025 polisi menggerebek sebuah rumah di Kabupaten Pangkep yang dijadikan tempat penimbunan sekitar dua ton solar subsidi, sementara kasus serupa di Sidrap mengungkap dugaan penjualan solar subsidi ke pasar industri dengan keuntungan besar.

Kasus demi kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dan aparat bahwa praktik ini bukan insidental, melainkan sistemik.

Tentunya, masalah terbesar bukan pada kemampuan aparat melakukan penangkapan, melainkan pada kemauan untuk menuntaskannya secara hukum.

Dalam banyak kasus, setelah pelaku ditahan dan barang bukti diamankan, publik tak lagi mendengar kelanjutannya, bahkan hilang bak di telan bumi.

Beberapa kasus bahkan berhenti di tingkat penyidikan, tanpa kejelasan proses penuntutan. Contohnya di Polres Gowa, Polres Wajo, aparat sempat mengungkap kasus penyelundupan solar, namun hingga berbulan-bulan, tidak terdengar lagi kelanjutannya ke kejaksaan atau pengadilan.

Lebih parah lagi sorotan media pemberitaan dan organisasi soal adanya dugaan kuat “perampokan” BBM Solar subsidi yang menggunakan jalur laut di  dua kapal jenis SPOB (Self Propelled Oil Barge) milik Ahda, yakni SPOB Senia dan SPOB Resky milik HDH yang tertangkap kamera jurnalis  mengisi solar dari pasar gelap di pelabuhan Galangan Kapal beberapa waktu lalu dan  viral ternyata tidak tersentuh aparat hukum.

Inilah titik lemah yang membuat publik menilai bahwa komitmen hukum terhadap mafia solar hanya berhenti di retorika.

Ketiadaan vonis hukum yang tegas membuka ruang bagi persepsi publik bahwa jaringan ini memiliki pelindung kuat.

Kecurigaan ini tidak muncul tanpa alasan. Beberapa laporan dari aktivis dan lembaga masyarakat sipil seperti Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) menyebut adanya keterlibatan oknum aparat dalam melindungi atau bahkan mengatur alur distribusi BBM subsidi ke pasar industri.

Tuduhan ini tentu tidak bisa disederhanakan, tetapi juga tak bisa diabaikan. Jika benar, maka kita sedang berhadapan dengan kejahatan berlapis: penyalahgunaan subsidi negara yang diatur oleh mereka yang justru diberi mandat menegakkan hukum.

Memang,  Sulsel memiliki karakter geografis yang mempersulit pengawasan. Dengan bentangan wilayah dari pesisir hingga pegunungan, serta ratusan titik distribusi SPBU dan agen, praktik penyimpangan bisa terjadi di banyak celah.

Aparat sering kali menghadapi kendala teknis seperti jalur distribusi yang tumpang tindih, kendaraan dengan tangki yang dimodifikasi, atau depot yang beroperasi tanpa izin.

Di Pangkep misalnya, rumah kos bahkan dijadikan tempat penampungan solar subsidi. Kasus serupa ditemukan di Maros, Gowa, hingga Takalar. Semua ini menggambarkan bahwa rantai distribusi BBM subsidi di Sulsel sudah berada di luar kendali mekanisme pengawasan resmi.

Dari sisi hukum, penyalahgunaan BBM bersubsidi jelas diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dengan ancaman pidana penjara maksimal enam tahun dan denda hingga Rp60 miliar.

Namun dalam praktiknya, pasal ini jarang diterapkan secara maksimal. Banyak pelaku hanya dikenai pasal ringan atau dilepaskan karena alasan tidak cukup bukti.

Padahal, alat bukti berupa barang sitaan (jeriken, tangki, dan dokumen pembelian) sering kali sudah cukup kuat. Lemahnya proses penyidikan dan minimnya keberanian dalam menjerat pelaku utama membuat hukum kehilangan daya gentarnya.

Pertamina Patra Niaga sebagai badan yang bertanggung jawab atas distribusi BBM di wilayah Sulsel sebenarnya sudah berupaya memperbaiki sistem. Melalui digitalisasi dan pembatasan pembelian di SPBU, sejumlah kendaraan dan SPBU bermasalah telah diblokir.

Namun, teknologi tak akan berarti jika praktik pengawasan di lapangan masih longgar dan aparat penegak hukum tidak konsisten. Selama oknum di titik distribusi masih bermain, sistem secanggih apa pun hanya akan menjadi formalitas.

Lagi-lagi, persoalannya bukan teknologi, melainkan moralitas dan keberanian hukum.

Aspek ekonomi dari bisnis gelap solar ini juga sangat besar. Berdasarkan sejumlah pengungkapan di kawasan Sulawesi, praktik penyelewengan BBM subsidi bisa mencapai ratusan ribu liter per bulan, dengan keuntungan mencapai miliaran rupiah.

Pelaku yang terlibat bukan hanya individu kecil, tapi juga jaringan bisnis yang terstruktur rapi. Di sinilah tantangan terbesar bagi aparat hukum: berani membongkar “pemain besar” yang mengatur alur modal, bukan hanya sopir atau pemilik jeriken yang dijadikan kambing hitam.

Kritiknya sederhana, mengapa publik harus puas dengan konferensi pers, sementara keadilan substantif tak pernah hadir? Dalam banyak kasus, aparat memajang tumpukan jeriken dan drum solar di depan kamera, namun sebulan kemudian, tak ada kabar kelanjutan sidangnya, sebatas retorika saja!

Jika hukum hanya dijadikan panggung pencitraan, maka kejahatan ekonomi semacam ini akan terus berulang. Negara kehilangan wibawa, rakyat kehilangan kepercayaan. Ini bukan hanya persoalan hukum, tapi persoalan moral dan integritas institusi.

Dalam konteks pemberantasan mafia solar di Sulsel, sudah saatnya penegakan hukum dilakukan lintas lembaga dengan mekanisme audit terbuka. Kepolisian, Kejaksaan, dan BPH Migas harus bekerja bersama secara transparan dengan pengawasan publik.

Aktivis, akademisi, dan media lokal pun punya peran penting untuk terus menekan agar setiap kasus tidak berhenti di tengah jalan, karena ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat sosial negara.

Sulitnya memberangus bisnis gelap BBM solar subsidi di Sulsel bukan karena aparat tak mampu, tetapi karena komitmen yang belum bulat.

Selama hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, selama jerat pidana berhenti pada sopir dan bukan pengendali, selama kepentingan ekonomi lebih kuat dari moral keadilan,  maka mafia solar akan terus hidup di balik tabir subsidi negara.

Dan selama itu pula, rakyat kecil akan terus membayar mahal harga sebuah kebijakan yang seharusnya mereka nikmati. (Bersambung)

Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp Email
Indotim News
  • Website

Related Posts

Analisis: Celoteh Media Ungkap “Penggelapan” Solar Subsidi dari SPBU “Nakal” di Makassar ke Kapal. Oknum APH Terlibat? (Bag.73)

Oktober 16, 2025

Analisis: “Penyelewengan” BBM Solar Subsidi Bisa Gagalkan Reformasi Polri Jika Pembiaran Terus Terjadi (Bag.72)

Oktober 11, 2025

Menakar Kekuatan SPBU Nakal di Sulsel dan Makassar, “Lemahkan” Penegakan Hukum (Bag.71)

Oktober 8, 2025
Leave A Reply Cancel Reply

  • Berita Terkini
  • Post Popular

SIT Darul Fikri Makassar Ajak Masyarakat Daftarkan Putra-Putri Terbaiknya Tahun Pelajaran 2026–2027

Oktober 22, 2025

GAKMI Laporkan Dugaan Korupsi Proyek Bibit Nanas Rp60 Miliar ke Kejati Sulsel

Oktober 22, 2025

KOLOM: Kasus Solar Subsidi Gowa, Transparansi Hukum yang Dinanti Publik (Bag.3)

Oktober 22, 2025

Dari Makassar untuk Sulsel: Adzkiyah Raihanah Putri Juara 1 Resensi Buku Tingkat SMA

Oktober 21, 2025

Pastor Yance Yogi dari Intan Jaya; Uskup Merauke urus umat, bukan sibuk pemekaran wilayah

Mei 29, 2022

DPC Pandawa Pattingalloang Gowa Laksanakan Rapat Persiapan Pelantikan

Agustus 15, 2022

Antara WikiLeaks dan SBY, Siapa Bohong?

Agustus 1, 2014

SIT Darul Fikri Makassar Ajak Masyarakat Daftarkan Putra-Putri Terbaiknya Tahun Pelajaran 2026–2027

Oktober 22, 2025
Berita Terbaru
  • SIT Darul Fikri Makassar Ajak Masyarakat Daftarkan Putra-Putri Terbaiknya Tahun Pelajaran 2026–2027
  • GAKMI Laporkan Dugaan Korupsi Proyek Bibit Nanas Rp60 Miliar ke Kejati Sulsel
  • KOLOM: Kasus Solar Subsidi Gowa, Transparansi Hukum yang Dinanti Publik (Bag.3)
  • Dari Makassar untuk Sulsel: Adzkiyah Raihanah Putri Juara 1 Resensi Buku Tingkat SMA
  • Lapas Kelas IIB Maros Berkontribusi Aktif dalam Implementasi 13 Program Akselerasi Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan
Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
  • Redaksi
  • Pedoman Media Cyber
  • Indeks Berita
© 2025 INDOTIM NEWS | by WebPro.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.